Raha, Timeline.ID - Menurut sejumlah penelitian, tradisi “katoba” merupakan buah karya para sufi yang pernah datang menyebarkan agama Islam di tanah Muna. Sebagai bukti bila ditelusuri, maka akan ditemukan beberapa hal yang menunjukkan bahwa tradisi “katoba” banyak mengandung unsur sufistik. Bukti-bukti tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, hikayat “Pokakoo-koope” yang diyakini sebagai landasan munculnya ajaran “katoba”. Dalam hikayat tersebut diceritakan tentang dua Nur yang saling mencari seperti halnya permainan petak umpet, untuk menentukan siapa yang patut disembah dan harus menyembah. Hikayat itupun berakhir dengan adanya saling mengakui antara Nur yang disembah dan menyembah. Pengakuan itulah yang kemudian diyakini sebagai asal mula syahadat.
Baca : Kuda, Ikon Muna yang “Tak Terurus”
Kedua, struktur nasehat katoba. Bila ditelaah, struktur nasehat katoba terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu : (1). Tahap pengosongan diri anak-anak dari salah dan dosa melalui istighfar (2). Pengisian kepribadian anak-anak dengan nasehat katoba (3). Petunjuk untuk mencapai tingkatan fanaa’ melalui pengamalan ajaran syariat Islam, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji, belajar tarekat, hakikat, serta makrifat. Sesungguhnya, struktur nasehat tersebut memiliki kesamaan dengan langkah para sufi mengamalkan ajaran tasawwuf, yakni “tahalli” (mengosongkan diri dari perbuatan salah dan dosa), “takhalli” (pengisian diri dengan akhlak terpuji), dan “tajalli” (terbukanya hijab).
Baca : Bahasa Muna Terancam Punah
Terakhir, unsur ajaran sufistik dalam tradisi “katoba” nampak pada metode penyampaian nasehat berlandaskan prinsip-prinsip yang mengedepankan “qaulan kariman” (perkataan yang mulia), “qaulan ma’rufa” (perkataan yang baik), “qaulan maisura” (perkataan yang pantas), “qaulan layyinan” (perkataan yang lemah lembut), “qaulan baligha” (perkataan yang berbekas dalam jiwa), dan “qaulan tsakila” yaitu perkataan yang berbobot. (Tim Redaksi kamboose)