Timeline.id - Hujan tidak berhenti sejak pagi, seakan Bandung memutuskan menenggelamkan dirinya sendiri dalam kesedihan. Andri duduk di meja kecil sebuah kafe sunyi di Jalan Dago, kedua tangannya menggenggam cangkir teh jahe yang sudah lama dingin. Dari balik jendela kaca, ia memandang kabut yang merayap di atas bukit di kejauhan, mengaburkan batasan antara nyata dan khayal.
Waktu itu awal Mei 2001. Tahun tersebut terasa seperti jam rusak, terjebak dalam lingkaran hari-hari yang sama. Andri kembali ke Bandung enam bulan yang lalu setelah berhenti dari pekerjaannya di sebuah penerbit di Jakarta. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini adalah awal yang baru, tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ini adalah sebuah pelarian. Pelarian dari kebisingan, dari wajah-wajah asing, dari beban kota yang tak pernah henti.
Di usianya yang ke-32, Andri merasa berada di persimpangan yang aneh. Teman-teman seusianya sibuk membangun keluarga, meraih karier, atau pindah ke luar negeri. Tapi dia? Dia hanya menyewa apartemen kecil di atas sebuah toko kaset, menghabiskan hari-harinya menggambar bentuk-bentuk abstrak di atas kertas yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun dan menulis cerita pendek yang tak pernah selesai. Malam-malamnya lebih sepi, ditemani dengung pelan radio transistor yang memutar lagu jazz.
Pada suatu malam di kafe itu, ia melihatnya. Wanita itu duduk di sudut ruangan, wajahnya sebagian tertutup oleh sebuah buku. Kehadirannya begitu halus, hampir seperti bayangan, namun Andri merasa dia tidak sepenuhnya berasal dari tempat ini. Gaun hitam dan syal merah yang dikenakannya seperti sesuatu dari film noir lama.
Selama berminggu-minggu, Andri mendapati dirinya terus kembali ke kafe itu, berharap bisa melihat wanita itu lagi. Dia selalu ada di sana, selalu duduk di sudut yang sama dengan buku yang sama. Dia tidak pernah memesan lebih dari secangkir kopi hitam. Namun, ada sesuatu yang membuat Andri terus memikirkannya — keheningan yang membawa cerita.
Suatu malam, setelah merasa ragu terlalu lama, Andri akhirnya mendekati meja wanita itu. “Permisi,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh musik jazz yang dimainkan di kafe. “Saya perhatikan Anda selalu membaca buku yang sama. Boleh saya tahu itu tentang apa?”
Wanita itu mendongak, mata gelapnya bertemu dengan mata Andri. Untuk sesaat, waktu terasa membeku.
“Bukan tentang apa isi buku ini,” jawabnya tenang. “Ini tentang cerita yang saya ciptakan sambil berpura-pura membacanya.”
Jawabannya membuat Andri terdiam. Namun, itu juga memunculkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Ia memperkenalkan diri, dan wanita itu mengatakan namanya adalah Alia. Malam itu, percakapan mereka singkat, seperti potongan-potongan narasi yang belum lengkap.
Andri dan Alia mulai sering bertemu di kafe itu, meskipun pembicaraan mereka tidak pernah panjang. Alia berbicara dengan metafora, kalimat-kalimatnya penuh teka-teki yang membuat Andri merenung lama setelah pertemuan mereka. Alia bercerita tentang tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, tentang hidup yang seolah ia ingat tapi tak pernah ia jalani.
Suatu malam, Alia memberikan sebuah kaset kepada Andri. “Dengarkan ini,” katanya. “Ini lagu dari waktu yang belum pernah ada.”
Andri memutar kaset itu di kaset player tuanya. Musiknya terasa akrab, namun ia tidak bisa mengenali melodinya. Lagu itu seperti membawa Andri ke dalam mimpi yang tidak bisa ia hindari. Keesokan harinya, Alia tidak kembali ke kafe. Dia menghilang begitu saja, seolah-olah tidak pernah ada. Bahkan pelayan kafe bersikeras bahwa mereka tidak pernah melihat wanita seperti Alia.
Andri mencoba mencari Alia, menelusuri setiap jejak yang mungkin ia tinggalkan. Tapi itu seperti mencari bayangan di antara kabut. Kaset itu menjadi satu-satunya penghubung dengan Alia, dan Andri memutarnya berulang kali, berharap menemukan jawabannya. Semakin sering ia mendengarkan, semakin kuat perasaan bahwa lagu itu adalah bagian dari dirinya yang hilang.
Bertahun-tahun kemudian, Andri menerbitkan cerita pendek berjudul “Wanita di Kafe.” Cerita itu mendapat sedikit perhatian, memberinya lingkaran kecil penggemar. Tapi Andri tahu cerita itu tidak pernah selesai, seperti melodi dalam kaset itu. Ia tidak pernah berhenti mencari Alia, bukan di dunia nyata, tetapi di sudut-sudut pikirannya di mana kenangan bercampur dengan mimpi.
Dan begitu saja, gaung kesepian terus bergema di Bandung, 2001.
Post a Comment