Ruang Tunggu Takdir


Timeline.id - Langit di luar jendela rumah sakit itu kelabu, seperti kain tua yang warnanya sudah pudar setelah terlalu sering dicuci. Aku duduk di kursi kayu berwarna coklat, memandang pintu ruang gawat darurat dengan perasaan campur aduk. Waktu bergerak lambat, seolah jarum jam di dinding telah kehilangan semangat untuk berdetak.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku di sini. Sejam? Dua? Atau mungkin lebih? Rasanya waktu tak lagi memiliki makna di ruang tunggu ini. Semua wajah di sekitarku tampak sama: penuh kecemasan, kelelahan, atau hanya kosong. Namun, di antara kerumunan itu, ada seorang pria yang menarik perhatianku.

Dia duduk di sudut ruangan, mengenakan jaket kulit cokelat yang sudah lusuh. Rambutnya hitam dengan uban yang tersembunyi di beberapa tempat, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa dia sedang memikirkan hal yang sangat berat. Dia tidak memainkan ponselnya seperti orang lain, tidak juga membaca majalah atau berbicara dengan siapa pun. Dia hanya duduk diam, memandang ke lantai, seolah ada sesuatu yang sangat penting di sana.

Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa tergoda untuk berbicara dengannya. Mungkin karena aku membutuhkan distraksi dari kecemasan yang melingkupiku, atau mungkin ada sesuatu dalam kesunyiannya yang terasa familier. Aku memutuskan untuk mendekatinya.

“Permisi,” kataku pelan, mencoba untuk tidak mengganggunya terlalu banyak. Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata gelap yang penuh teka-teki.

“Ya?”

“Bolehkah saya duduk di sini?” tanyaku, menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Dia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aku duduk, merasakan permukaan plastik yang dingin di bawahku.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan, tapi rasanya tidak ada yang cukup masuk akal. Akhirnya, dia yang memecah keheningan.

“Kamu menunggu siapa?” tanyanya, suaranya rendah tapi hangat, seperti suara seseorang yang sudah lama tidak digunakan.

“Adik saya,” jawabku. “Dia mengalami kecelakaan mobil. Kamu?”

Dia menghela napas, seolah pertanyaanku menambah beban di pundaknya. “Istriku. Dia…” Dia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Dia sedang menjalani operasi besar.”

Aku mengangguk pelan, merasa ada simpati yang tumbuh di antara kami. “Maaf mendengarnya,” kataku tulus.

Dia tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak mencapai matanya. “Terima kasih.”

Kami kembali diam, tapi kali ini keheningan terasa lebih nyaman. Rasanya seperti berbagi beban, meskipun hanya sedikit.

“Nama saya Aulia,” kataku akhirnya, mencoba mengisi kekosongan.

“Rizal,” jawabnya singkat. “Senang bertemu denganmu, meskipun di tempat seperti ini.”

Aku tersenyum kecil. “Ya, tempat ini bukanlah tempat terbaik untuk bertemu orang baru.”

Percakapan kami berlanjut dengan perlahan, seperti aliran sungai kecil yang mencari jalannya di antara batu-batu. Rizal bercerita tentang istrinya, seorang guru sekolah dasar yang penuh semangat dan selalu menaruh hati pada murid-muridnya. Dia bercerita tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu, tentang perjalanan hidup mereka yang penuh lika-liku, dan tentang ketakutannya kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya.

Aku juga mulai membuka diri, menceritakan tentang adikku, Rafi, yang lebih sering membuatku kesal daripada tidak, tapi tetap menjadi orang yang paling aku cintai di dunia ini. Kami berbagi tawa, air mata, dan cerita-cerita kecil yang tampaknya tidak penting, tapi entah bagaimana terasa sangat berarti saat itu.

Waktu terus berjalan, meskipun kami nyaris tidak menyadarinya. Hari mulai berubah menjadi malam, dan ruangan itu mulai kosong sedikit demi sedikit. Tapi aku dan Rizal tetap di sana, seperti dua orang asing yang terjebak dalam orbit yang sama.

Aku mulai memperhatikan detail kecil tentang Rizal. Caranya menggosok-gosokkan jari di pangkal hidung setiap kali dia tampak cemas, atau bagaimana dia sering melirik jam tangannya meskipun dia tahu waktu tidak akan bergerak lebih cepat. Aku juga menyadari ada kehangatan dalam suaranya setiap kali dia berbicara tentang istrinya, meskipun aku bisa merasakan ketakutan yang tersembunyi di balik itu semua.

Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Dalam salah satu jeda percakapan kami, aku merasa ada sesuatu yang familier dalam ceritanya, seperti sebuah melodi lama yang pernah kudengar sebelumnya tapi lupa di mana. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi semakin lama semakin sulit.

“Rizal,” kataku akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik. “Apa nama istrimu?”

Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku, tapi akhirnya menjawab. “Ayu. Ayu Pratiwi.”

Dunia di sekitarku seolah berhenti. Nama itu seperti gemuruh petir di tengah malam yang sunyi. Aku merasa sulit bernapas.

“Ada apa?” tanya Rizal, wajahnya penuh kekhawatiran.

Aku menatapnya dengan mata yang mulai basah. “Ayu adalah nama ibu saya,” kataku, suaraku gemetar. “Dia meninggalkan saya dan adik saya ketika kami masih kecil. Saya selalu bertanya-tanya di mana dia, apa yang terjadi padanya… Dan sekarang…”

Rizal membeku. Matanya melebar, dan wajahnya berubah pucat. “Tidak mungkin,” gumamnya. “Ayu tidak pernah mengatakan dia punya anak sebelum kami menikah.”

Kami saling memandang, mencoba memahami kenyataan yang tiba-tiba menghantam kami. Semua cerita yang kami bagi sebelumnya mulai terasa seperti potongan-potongan puzzle yang perlahan menyatu. Ada begitu banyak kebetulan, terlalu banyak untuk diabaikan.

“Kita perlu memastikan,” kataku, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatiku bergejolak. “Kita harus tahu apakah ini benar.”

Rizal mengangguk, meskipun aku bisa melihat ketakutan di matanya. “Ya. Kita harus tahu.”

Malam itu, kami menunggu bersama, tidak lagi sebagai dua orang asing, tapi sebagai dua jiwa yang mungkin terhubung lebih dalam dari yang pernah kami bayangkan. Dan di ruang tunggu itu, di bawah langit kelabu yang perlahan berubah menjadi hitam, aku merasa takdir sedang bermain-main dengan hidup kami, seperti seorang dalang yang lihai mengatur cerita.

Aku mencoba menggali ingatan-ingatan lama tentang ibu. Wajahnya sudah mulai memudar dari benakku, tapi aku masih bisa mengingat suaranya. Bagaimana dia tertawa saat aku dan Rafi bertingkah konyol. Aku mulai bertanya-tanya apakah Rizal tahu sisi lain dari Ayu yang kukenal, atau apakah dia hanya mengenalnya sebagai istri yang setia dan guru yang bersemangat. Apakah mungkin orang yang sama memiliki dua kehidupan yang begitu berbeda?

Ketika pintu ruang operasi akhirnya terbuka, aku merasa napasku tertahan. Seorang dokter keluar dengan wajah yang letih, tapi dia tersenyum kecil ke arah Rizal. “Operasinya berjalan lancar. Dia akan baik-baik saja.”

Rizal menghela napas lega, dan aku hampir bisa merasakan beban yang terangkat dari pundaknya. Tapi aku masih belum tahu bagaimana caranya menghadapi apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

“Ayo,” katanya, menatapku dengan mata yang penuh keyakinan. “Kita harus memastikan kebenarannya.”

Kami berjalan bersama menuju kamar tempat Ayu dirawat. Tanganku gemetar, dan aku merasa Rizal juga merasakan hal yang sama. Ketika kami sampai di depan pintu, aku berhenti. “Kamu duluan,” kataku pelan.

Rizal mengangguk dan masuk ke dalam. Aku mendengar suara lembutnya berbicara dengan Ayu, tapi aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Akhirnya, dia keluar dan memandangku.

“Dia ingin bertemu denganmu,” katanya.

Aku masuk dengan langkah ragu, dan saat itu aku melihatnya. Wajah yang sudah lama hilang dari ingatanku, tapi tetap terasa begitu akrab. Dia menatapku dengan mata yang penuh air mata, dan aku tahu bahwa aku telah menemukan jawaban yang kucari selama ini. Tapi pertanyaan baru mulai bermunculan, dan aku tahu bahwa perjalanan ini masih jauh dari selesai.

Post a Comment

Previous Post Next Post