Rindu Tak Terucap

Seseorang sedang menyendiri. Source: Canva

Timeline.id - Aku masih ingat malam itu, ketika langit di Jakarta seperti kanvas kelabu yang retak, terpecah oleh kilatan petir di kejauhan. Telepon di genggamanku terasa berat, lebih berat dari biasanya. Sudah lebih dari tiga minggu sejak terakhir kali aku mendengar suaranya, dan setiap hari yang berlalu terasa seperti menambah lapisan kabut di antara kami. Namanya Nadine, dan dia adalah alasan mengapa aku masih bertahan dalam kekosongan kota ini.

“Halo?” Suaranya terdengar dari seberang, lembut, tetapi ada nada ragu di baliknya. Aku menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata yang telah kususun ratusan kali di kepalaku. Namun, seperti biasa, aku kalah. Hanya ada diam.

“Halo? Arga?” Nadine mengulang, kali ini dengan nada yang lebih waspada. Aku menarik napas dalam-dalam.

“Aku di sini,” kataku akhirnya. Suaraku terdengar lebih serak dari yang kubayangkan. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik,” jawabnya singkat. Ada jeda di antara kami, seperti ruang kosong yang tidak mungkin diisi. Aku bisa membayangkan Nadine sedang duduk di sofa kecil di apartemennya di Melbourne, matanya menatap jendela yang memperlihatkan kota yang sama sekali berbeda dari yang kutinggali.

“Arga,” katanya setelah beberapa detik hening, “aku tidak tahu apakah ini masih bisa terus seperti ini.”

Kalimat itu seperti hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tanpa aba-aba. Aku tahu bahwa hubungan kami telah mencapai titik genting, tetapi mendengarnya diucapkan dengan begitu lugas membuat dadaku sesak.

“Apa maksudmu?” tanyaku pelan, meski aku sudah tahu jawabannya.

“Aku merasa kita hanya berbicara dengan bayangan satu sama lain. Kata-kata kita seolah-olah melayang di udara tanpa pernah benar-benar sampai,” Nadine menjelaskan. Aku bisa merasakan kesedihannya menembus jarak ribuan kilometer.

Aku ingin menjawab, ingin memberitahunya bahwa aku merasakan hal yang sama, bahwa setiap malam aku memutar kembali pesan suaranya hanya untuk merasa bahwa dia masih ada di dekatku. Tetapi seperti biasa, lidahku kelu. Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi kata-kata itu seperti burung yang takut terbang keluar dari sangkarnya.

“Aku rindu kamu,” akhirnya aku mengucapkannya, kata-kata yang selama ini hanya berputar di dalam kepalaku. Aku berharap itu cukup, tetapi di saat yang sama aku tahu bahwa itu tidak pernah cukup.

Nadine terdiam, dan aku bisa mendengar suara napasnya di ujung telepon. “Aku juga,” katanya pelan. “Tapi apakah rindu saja cukup, Arga?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Apakah rindu cukup? Apakah ribuan pesan teks, panggilan video, dan janji-janji kosong cukup untuk mempertahankan sesuatu yang perlahan-lahan terkikis oleh waktu dan jarak? Aku tidak tahu.

Hari-hari setelah percakapan itu berjalan seperti biasa, setidaknya di luar. Aku pergi bekerja, bertemu dengan klien, dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tetapi di dalam, aku hancur perlahan-lahan. Setiap malam, aku menatap ponselku, membaca ulang pesan-pesan lama dari Nadine, mencoba mencari petunjuk tentang bagaimana semua ini bermula.

Aku ingat pertama kali kami bertemu di sebuah kafe kecil di Blok M. Nadine duduk di pojok, membaca buku sambil sesekali menyeruput kopinya. Ada sesuatu tentang caranya menyendiri di tengah keramaian yang membuatku terpikat. Ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampirinya, aku merasa seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan oase di tengah gurun.

“Kamu sering ke sini?” tanyaku waktu itu, mencoba terdengar santai meskipun jantungku berdebar kencang.

Dia mengangkat wajahnya dari buku dan menatapku dengan mata yang teduh. “Tidak terlalu. Kamu?”

Percakapan itu berlanjut hingga malam menjelang, dan sebelum aku menyadarinya, kami telah berbagi cerita tentang hidup, mimpi, dan ketakutan kami. Nadine adalah orang pertama yang membuatku merasa bahwa aku bisa berbicara tanpa harus menyembunyikan bagian-bagian rapuh dari diriku.

Tetapi sekarang, bagian-bagian itu terasa semakin rapuh. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mempertahankan apa yang kami miliki, atau apakah aku harus melepaskannya sebelum semuanya hancur lebih jauh.

Aku mengingat detail-detail kecil tentang Nadine, hal-hal yang membuatnya istimewa. Cara dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya saat membaca, senyumnya yang seperti pagi pertama setelah musim hujan panjang. Tetapi kenangan itu, seindah apa pun, hanya menambah rasa sakit di dadaku. Mereka adalah pengingat akan apa yang telah hilang, atau mungkin sedang perlahan-lahan menghilang.

Suatu malam, aku memutuskan untuk menulis surat untuk Nadine. Bukan email, bukan pesan teks, tetapi surat sungguhan yang kutulis dengan tangan. Aku ingin dia tahu apa yang sebenarnya kurasakan, meskipun aku tidak yakin apakah dia masih peduli.

“Nadine,” aku memulai, “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, jadi aku akan mulai dengan hal yang paling sederhana: aku merindukanmu. Aku merindukan caramu tersenyum, caramu tertawa, bahkan caramu diam saat sedang membaca buku. Aku merindukan semua itu, dan aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri setiap hari.

Aku tahu bahwa aku bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaan. Aku sering kali terlalu takut untuk mengatakan apa yang ada di pikiranku karena aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku sadar, dengan tidak mengatakan apa-apa, aku malah menyakitimu lebih dalam.

Aku tidak tahu apakah hubungan kita masih memiliki harapan, tetapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita mencoba. Karena bagiku, kamu adalah rumah, dan aku tidak ingin kehilangan rumahku.”

Aku menandatangani surat itu dengan namaku, lalu memasukkannya ke dalam amplop. Namun, sebelum aku sempat mengirimkannya, Nadine menelepon.

“Aku ingin kita bertemu,” katanya tanpa basa-basi. Aku terdiam sejenak, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

“Kamu mau pulang ke Jakarta?” tanyaku, suaraku dipenuhi harapan.

“Tidak,” jawabnya. “Aku ingin kamu datang ke Melbourne.”

Melbourne adalah kota yang dingin dan penuh kejutan. Saat pesawatku mendarat, aku merasa seperti memasuki dunia yang berbeda, dunia yang lebih sunyi tetapi juga lebih jujur. Udara dingin menyergapku saat aku keluar dari terminal, dan mataku segera mencari sosok yang selama ini hanya bisa kulihat di layar.

Nadine menungguku di bandara, mengenakan jaket tebal dan syal yang melingkar di lehernya. Ketika aku melihatnya, semua keraguan yang menghantuiku selama ini seolah-olah lenyap. Dia tersenyum, senyum yang sama yang pertama kali membuatku jatuh cinta.

“Kamu benar-benar datang,” katanya dengan suara yang penuh kelegaan. Aku hanya mengangguk, terlalu emosional untuk berkata-kata.

Kami menghabiskan hari itu berjalan-jalan di kota, mengunjungi tempat-tempat yang biasa dia ceritakan dalam panggilan telepon kami. Nadine menunjukkan taman kecil di dekat apartemennya, kafe tempat dia sering menghabiskan waktu, dan toko buku tua yang menjadi favoritnya. Setiap tempat memiliki cerita, dan aku merasa seolah-olah sedang mengenalnya kembali, bagian demi bagian.

Tetapi yang paling penting, kami berbicara. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, kami benar-benar berbicara. Tidak ada jarak, tidak ada kebisuan yang menyakitkan, hanya dua orang yang mencoba memahami satu sama lain. Kami berbagi ketakutan, harapan, dan keinginan kami, seolah-olah dunia di luar tidak lagi penting.

Malam itu, di tepi Sungai Yarra, Nadine menatapku dengan mata yang penuh dengan air mata. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Arga. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin kehilangan kamu.”

Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan. “Aku juga,” kataku. “Kita akan menemukan cara. Bersama-sama.”

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa kata-kata yang tak terucap akhirnya menemukan tempatnya. Bukan di udara, bukan di antara kabut, tetapi di hati kami. Di malam itu, di bawah langit Melbourne yang dingin, aku merasa seperti menemukan kembali bagian dari diriku yang hilang.

Post a Comment

Previous Post Next Post