Namanya Rifki. Sosok yang dulu menjadi pusat dari semestaku di SMA. Di antara canda tawa, pembicaraan panjang tentang mimpi-mimpi, dan tatapan yang selalu kusembunyikan, kami menjalin hubungan yang hanya bisa disebut sebagai teman. Aku tahu batasnya, dia pun tahu. Namun perasaan, kadang lebih kuat dari logika.
Waktu itu, aku dan Rifki sering bertemu di perpustakaan sekolah. Tidak pernah ada rencana, tapi entah bagaimana, kami selalu tiba di sana pada jam yang sama. Dia akan duduk di meja yang sama, membuka buku-buku tebal yang hampir tak pernah disentuh siswa lain. Aku duduk di seberangnya, berpura-pura membaca novel, sementara pikiranku sepenuhnya padanya.
"Kamu suka hujan?" tanyanya tiba-tiba suatu sore. Di luar, langit menggelap, dan rintik mulai terdengar di atap kaca perpustakaan.
Aku tersenyum, berpura-pura tidak terkejut. "Suka. Rasanya menenangkan."
Dia mengangguk, matanya tidak lepas dari halaman buku yang sedang dia baca. "Aku juga. Tapi hujan selalu mengingatkanku pada sesuatu yang tak bisa kugenggam."
Aku tidak tahu apa maksudnya waktu itu. Namun kini, bertahun-tahun kemudian, aku mengerti. Hujan adalah aku baginya. Sesuatu yang indah, tapi hanya bisa dinikmati dari kejauhan. Beda keyakinan—dua kata yang seperti penjara bagi kami. Tak ada janji, tak ada kata cinta, hanya keheningan yang dipenuhi rasa.
Setelah lulus, aku pergi ke Bandung, sementara Rifki ke Surabaya. Kami berjanji untuk tetap berkomunikasi, tapi janji itu perlahan memudar, digantikan kesibukan kuliah dan jarak yang semakin melebar. Namun ada saat-saat tertentu, seperti di pagi yang dingin ini, ketika bayangannya kembali menghantuiku.
Empat tahun. Lama, tapi terasa seperti sekejap saat aku melihatnya lagi hari ini, di sebuah kafe kecil di sudut kota. Aku datang bersama tunanganku, Adrian, sementara Rifki datang bersama seorang wanita yang tampak elegan, yang dia perkenalkan sebagai istrinya.
Ada jeda sesaat ketika mata kami bertemu, seperti film yang berhenti di satu frame. Aku mencoba tersenyum, namun itu lebih terasa seperti senyuman seorang asing. Hatiku gemetar, tubuhku terasa dingin. Wajahnya tak banyak berubah, hanya sedikit lebih dewasa, dengan garis-garis kelelahan di sekitar matanya.
Percakapan mengalir, sebagian besar basa-basi. Adrian bercerita tentang pekerjaannya di sebuah perusahaan teknologi, sementara Rifki berbicara tentang bisnis yang baru dia mulai. Aku hanya setengah mendengarkan. Pikiranku sibuk mencerna kehadirannya di depanku. Wajahnya, suaranya, bahkan cara dia menyentuh cangkir kopi—semuanya membangkitkan kenangan lama yang sudah lama kukubur.
"Apa kamu masih suka hujan?" tanyaku tiba-tiba, hampir tanpa berpikir.
Rifki terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. "Masih. Tapi sekarang, hujan terasa lebih dingin."
Jawabannya menghantamku seperti gelombang besar. Aku tahu apa maksudnya. Aku bisa merasakannya.
Saat malam tiba, aku tidak bisa tidur. Di sisi tempat tidur, Adrian sudah terlelap, wajahnya tenang. Aku menatap langit-langit, mendengarkan suara detak jam yang terasa lebih keras dari biasanya.
Rasa bersalah menyelimutiku. Adrian adalah pria yang baik. Dia mencintaiku dengan cara yang sederhana namun tulus, dan aku tahu aku beruntung memilikinya. Namun mengapa bayangan Rifki terus menghantui pikiranku? Mengapa aku masih merindukan sesuatu yang tidak pernah benar-benar menjadi milikku?
Malam itu, aku bermimpi. Dalam mimpiku, aku berdiri di persimpangan jalan. Rifki berdiri di satu sisi, memandangku dengan tatapan yang tak pernah berubah—hangat, tapi penuh keraguan. Di sisi lain, Adrian, dengan senyumnya yang selalu membuatku merasa aman. Aku ingin berlari, tapi kakiku seolah terpaku di tempat.
"Apa yang kamu tunggu?" suara Rifki bergema di kepalaku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Hari-hari berikutnya berlalu dalam kabut. Aku mencoba mengabaikan perasaan yang terus menggerogotiku, tapi itu seperti mencoba mengabaikan rasa sakit di dada. Setiap kali hujan turun, aku kembali teringat percakapan kami di perpustakaan, tentang hujan yang membawa kenangan.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menulis surat. Untuk Rifki. Aku tahu aku tidak akan pernah mengirimnya, tapi aku butuh cara untuk mengeluarkan semua perasaan ini.
"Rifki,
Hidup adalah serangkaian persimpangan. Dan aku tahu, di setiap persimpangan yang pernah kita lewati, aku selalu berharap kamu ada di sisi yang sama denganku. Tapi kenyataan tidak pernah sebaik itu. Kita selalu berada di jalur yang berbeda, dipisahkan oleh sesuatu yang tidak bisa kita ubah.
Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jadinya jika kita bertemu di dunia yang berbeda, di mana tidak ada batasan yang memisahkan kita. Mungkin kita bisa lebih dari sekadar teman. Mungkin aku tidak akan terus merasa seperti hujan yang hanya bisa kamu nikmati dari kejauhan.
Tapi hidup bukan tentang kemungkinan. Hidup adalah tentang pilihan, dan aku sudah memilih jalanku, seperti kamu memilih jalanmu. Dan meskipun itu menyakitkan, aku tahu ini yang terbaik.
Terima kasih untuk kenangan yang indah. Aku akan selalu menghargainya, bahkan ketika aku melangkah maju.
Selamat tinggal,
Nisa."
Aku melipat surat itu dan menyimpannya di dalam buku harian, di antara halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tentangnya. Mungkin suatu hari, ketika aku sudah tua, aku akan membaca kembali surat itu dan tersenyum, mengenang masa-masa ketika aku berdiri di persimpangan, bertanya-tanya jalan mana yang harus kupilih.
Untuk sekarang, aku hanya bisa berharap, bahwa di suatu tempat, di dalam hati Rifki, aku juga adalah bagian dari hujan yang dia cintai. Hujan yang mungkin dingin, tapi selalu membawa ketenangan.
Post a Comment