Timeline.id - Pukul tujuh pagi ketika aku membuka mata. Langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, seperti tirai tipis yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di meja sebelah tempat tidurku, secangkir kopi dingin yang kubiarkan semalaman menjadi saksi bisu kebiasaanku yang terlalu sering bekerja hingga larut. Bau kopi itu bercampur dengan aroma kertas tua dari buku-buku musik yang berserakan di sekitarnya.
Hari itu, semuanya dimulai seperti biasa. Aku berjalan ke ruang tamu yang juga berfungsi sebagai studio kecilku, melewati piano tua yang teronggok di sudut ruangan. Piano itu, meskipun usianya lebih tua dari aku, tetap menjadi satu-satunya benda di dunia ini yang bisa membuatku merasa utuh.
Setelah menuang kopi baru, aku duduk di depan piano dan membiarkan jari-jariku menyentuh tutsnya, menciptakan nada-nada ringan yang lebih mirip pemanasan daripada musik sesungguhnya. Namun, saat jariku menyentuh sebuah nada tertentu, aku mendengar sesuatu yang membuat napasku tertahan.
Nada itu bukan nada yang biasa. Ada sesuatu yang mengalir di dalamnya, sesuatu yang terasa akrab namun asing sekaligus. Aku mengulangi nada itu, mencoba menangkap perasaan aneh yang menempel di udara. Saat itulah mataku jatuh pada sebuah buku musik tua yang tergeletak di ujung piano.
Buku itu, dengan sampul kulitnya yang sudah retak dan ujung-ujungnya yang mulai robek, pernah menjadi milikku bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melihatnya. Aku membukanya perlahan, membiarkan aroma kertas tua memenuhi ruangan.
Halaman demi halaman berisi catatan-catatan musik yang pernah kutulis di masa lalu. Lalu, aku sampai pada sebuah halaman kosong. Tidak sepenuhnya kosong sebenarnya—ada beberapa nada yang tertulis, tetapi melodi itu berhenti di tengah jalan, seperti kalimat yang kehilangan kata-kata terakhirnya.
Aku mengenal melodi itu. Bukan hanya mengenalnya—aku pernah memainkannya. Lebih tepatnya, aku pernah memainkannya untuk seseorang.
Elena.
Nama itu menyeruak dari sudut otakku, mengisi ruang kosong di dadaku seperti angin yang berembus masuk melalui jendela yang tiba-tiba terbuka. Aku tidak pernah ingin memikirkan dia lagi, tetapi melodi ini, nada-nada ini, seperti tali yang menarikku kembali ke masa lalu.
Elena adalah seseorang yang tidak bisa kulupakan, meskipun aku mencoba. Wajahnya selalu terpatri di ingatanku seperti cat minyak yang tak pernah benar-benar kering. Dia adalah cinta pertamaku—cinta yang datang tanpa peringatan dan pergi tanpa perpisahan.
Aku menatap melodi yang terhenti itu. Barisan nada yang tersusun seperti puisi yang terpotong di tengah bait. Aku tahu aku harus menyelesaikannya, bukan karena aku ingin, tetapi karena aku tidak punya pilihan lain.
Aku menekan nada pertama pada piano, membiarkan bunyinya mengisi ruangan. Perlahan-lahan, melodi itu mulai mengalir, seperti sungai yang menemukan jalannya kembali setelah bertahun-tahun kering. Tapi ada sesuatu yang aneh. Semakin lama aku memainkan lagu itu, semakin aku merasa seperti tidak berada di ruang tamu kecilku lagi.
Bayangan tentang studio ini mulai memudar, digantikan oleh cahaya keemasan yang menyelimuti sekelilingku. Aku merasa seperti ditarik ke dalam melodi itu, ke dalam dunia yang aku sendiri tidak pahami. Dan ketika aku membuka mata, aku melihatnya.
Elena.
Dia berdiri di sana, di tepi sebuah danau yang aku tahu bukan bagian dari dunia ini. Rambut hitamnya tertiup angin, dan matanya yang gelap menatapku dengan cara yang membuatku merasa kecil dan sekaligus tak tergantikan. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi senyum di bibirnya cukup untuk menghancurkan semua dinding yang telah kubangun di sekeliling hatiku.
“Elena…” suaraku pecah seperti nada piano yang dipukul terlalu keras.
Dia tidak menjawab. Dia hanya berbalik, berjalan menjauh, melangkah ke dalam hutan yang mulai diselimuti kabut tebal. Aku mencoba mengejarnya, tetapi kakiku terasa berat, seperti terjebak dalam tanah basah yang menelan setiap langkahku.
Dan tiba-tiba, aku terbangun.
Aku masih di ruang tamuku, duduk di depan piano tua itu. Napasku memburu, dan keringat dingin membasahi punggungku. Namun, yang membuatku bingung adalah tanganku yang masih menekan tuts piano, memainkan melodi yang sama seperti di mimpiku.
Melodi itu terdengar begitu nyata, begitu hidup, seperti suara Elena yang memanggilku dari tempat yang jauh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang pasti: lagu ini, melodi yang tidak selesai ini, adalah kunci untuk menemukan jawabannya.
Dan aku tahu bahwa jawabannya ada di masa lalu—masa lalu yang telah lama aku coba lupakan.
Akhir yang Tak Pernah Terucap
Aku tidak bisa berhenti memainkan melodi itu. Seolah ada kekuatan yang tak terlihat mengendalikan jari-jariku, memaksaku menghidupkan kembali setiap nada. Musik itu memenuhi ruangan kecilku, menggema di dinding, dan mengalir ke sudut-sudut gelap yang selama ini kuabaikan.
Ketika melodi itu berhenti, aku hanya bisa duduk terpaku, dengan napas memburu. Buku musik tua itu tergeletak di atas piano, terbuka di halaman yang sama. Namun, sesuatu telah berubah. Barisan nada baru muncul, seolah-olah seseorang telah menulisnya saat aku bermain.
Aku merasakan dorongan yang tak dapat dijelaskan untuk keluar dari apartemenku. Membawa buku musik itu, aku berjalan menyusuri jalan-jalan Jakarta yang ramai, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Udara pagi bercampur bau asap kendaraan dan suara klakson, tapi aku hampir tidak memperhatikannya. Ada sesuatu yang memanggilku—sebuah tujuan yang samar, tetapi tak terelakkan.
Langkah-langkahku membawaku ke sebuah tempat yang hampir kulupakan: aula konser tua di pusat kota, tempat aku dan Elena pertama kali bertemu.
Aula itu kini sudah tidak terawat. Dindingnya penuh coretan, dan kaca-kaca jendelanya banyak yang pecah. Tetapi ketika aku masuk, aku bisa merasakan gema masa lalu menari-nari di udara. Suara tawa Elena, suaranya yang lembut saat ia memintaku mengajarinya bermain piano, dan musik yang kami mainkan bersama—semuanya kembali menghantuiku.
Aku berjalan menuju panggung. Di sana, piano tua yang sudah berdebu masih berdiri, seperti menungguku sejak hari terakhir aku berada di tempat ini. Dengan hati-hati, aku membuka buku musik dan meletakkannya di atas piano.
Ketika aku memainkan nada pertama, sesuatu yang luar biasa terjadi. Cahaya lembut mulai memenuhi ruangan, seperti api lilin yang perlahan membesar. Dan kemudian, aku melihatnya.
Elena duduk di sisi lain piano, dengan senyum yang sama seperti yang selalu aku ingat. Rambutnya jatuh ke bahu, dan matanya penuh dengan kehangatan yang membuatku ingin menangis.
“Nathan,” katanya, suaranya lembut seperti melodi yang aku mainkan.
“Elena…” Aku tidak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhku dipenuhi perasaan yang tidak bisa kujelaskan. Bahagia, sedih, bingung—semuanya bercampur menjadi satu.
“Kau menyelesaikan melodi itu,” katanya. “Aku menunggunya begitu lama.”
“Apa yang terjadi padamu? Ke mana kau pergi?”
Dia tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku, matanya seperti menyimpan seribu rahasia. “Aku tidak pernah benar-benar pergi, Nathan. Aku selalu ada di sini, di dalam musik yang kau tinggalkan. Tapi aku tidak bisa benar-benar kembali sampai kau memainkan lagu ini sampai akhir.”
Aku menelan ludah, berusaha memahami apa yang dia katakan. “Apa artinya ini, Elena? Apa yang terjadi pada kita?”
Dia tersenyum, tapi ada kesedihan di balik senyumnya. “Kita tidak pernah punya kesempatan untuk menyelesaikan cerita kita, bukan? Aku pergi sebelum kita bisa mengucapkan selamat tinggal. Tapi sekarang, kita punya satu kesempatan terakhir.”
Dia memandang ke arah piano, dan aku mengerti apa yang harus kulakukan. Aku mulai memainkan melodi itu lagi, kali ini sampai selesai.
Ketika nada terakhir mengalun, aku merasakan sesuatu yang luar biasa. Seluruh ruangan dipenuhi cahaya yang hangat dan memelukku, seperti tangan yang tak terlihat menghapus semua rasa sakit dan penyesalanku. Elena tersenyum kepadaku, dan aku tahu bahwa ini adalah perpisahan yang selama ini tidak pernah kami dapatkan.
“Nathan, terima kasih,” katanya dengan suara lembut. “Kau telah memberiku akhir yang indah.”
Sebelum aku sempat menjawab, dia mulai memudar. Cahaya di sekelilingnya perlahan meredup, dan dia menghilang seperti bayangan yang larut dalam kegelapan. Aku mencoba meraih tangannya, tetapi yang tersisa hanyalah kekosongan.
Ketika aku membuka mata, aku kembali berada di ruang tamuku. Piano tua itu masih di sana, tetapi buku musiknya sudah tidak ada. Aku hanya duduk di sana, merasakan keheningan yang aneh namun damai.
Aku tahu bahwa Elena telah pergi, tetapi aku juga tahu bahwa dia tidak benar-benar hilang. Musik yang kami ciptakan bersama akan selalu ada, mengisi ruang kosong di dalam diriku yang selama ini tidak pernah bisa kugantikan.
Dan meskipun aku tidak bisa melihatnya lagi, aku merasa seperti dia masih di sini, dalam setiap nada yang aku mainkan.
Itulah nada terakhir yang aku mainkan—sebuah lagu yang tidak hanya menyelesaikan melodi, tetapi juga memberiku akhir yang selama ini kucari.
Post a Comment