Timeline.id - Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Langit Jakarta gelap, hanya diterangi oleh lampu jalan yang pendar kuningnya samar menembus kabut tipis. Hujan baru saja berhenti, menyisakan jalan basah dan udara dingin yang membawa aroma tanah. Langkahku lambat, bukan karena lelah, tetapi karena aku tidak terburu-buru. Tidak ada yang menunggu di rumah.
Apartemenku berada di lantai empat sebuah gedung tua di pusat kota. Tidak ada yang istimewa dari tempat itu, kecuali suara kereta yang melintas setiap lima belas menit, membuat kaca jendela bergetar. Aku sudah tinggal di sana selama lima tahun, tetapi aku tidak pernah merasa betah. Apartemen itu hanyalah sebuah tempat untuk tidur, tempat di mana aku menumpuk buku-buku yang jarang kubaca dan menumpahkan kopi yang tidak pernah selesai kuminum. Hidupku adalah serangkaian rutinitas yang terasa seperti berjalan di atas treadmill: penuh gerakan tetapi tidak pernah benar-benar maju.
Di sudut jalan dekat halte, aku melihatnya untuk pertama kali. Seekor kucing kecil dengan bulu oranye kusam, duduk meringkuk di bawah lampu jalan. Matanya yang lebar memandang ke arahku, penuh kewaspadaan. Aku berhenti sejenak, memandangnya balik. Tidak ada suara di antara kami, hanya gemericik sisa hujan yang jatuh dari atap-atap.
“Sendiri juga, ya?” tanyaku tanpa sadar.
Dia tidak menjawab, tentu saja. Tapi ada sesuatu dalam caranya menatapku yang terasa seolah dia mengerti. Aku melangkah mendekat, perlahan agar tidak membuatnya takut. Dia tetap diam, hanya mengecilkan tubuhnya sedikit seperti sedang mempertimbangkan apakah aku ancaman.
Aku merogoh kantong jaketku, mencari sesuatu yang mungkin bisa kuberikan. Yang kutemukan hanyalah sisa roti tawar dari kantin kantor. Aku menyobek sedikit dan meletakkannya di tanah, lalu mundur beberapa langkah. Dia mendekat, berhenti sejenak untuk mencium, lalu mulai memakan roti itu dengan hati-hati.
Aku duduk di trotoar, tidak jauh darinya. Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa tidak sepenuhnya sendiri.
Kucing itu mulai muncul setiap malam. Setiap kali aku pulang terlambat, dia akan ada di sana, di bawah lampu jalan yang sama, seolah menungguku. Aku mulai membawa makanan kecil untuknya—ikan kaleng, sisa ayam, atau apa pun yang bisa kubeli di minimarket terdekat. Dia tidak pernah menunjukkan rasa terima kasih secara eksplisit, tetapi kehadirannya sendiri sudah cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih baik.
Aku memberinya nama: Rori. Aku tidak tahu kenapa memilih nama itu, hanya terasa pas. Aku tidak pernah memelihara kucing sebelumnya, tapi aku mulai merasa Rori seperti bagian dari rutinitasku.
Setiap malam, aku akan duduk di trotoar yang sama, bercerita tentang hariku—tentang bos yang terlalu banyak menuntut, tentang rekan kerja yang terlalu sibuk dengan ponselnya, tentang bagaimana aku sering merasa seperti roda kecil yang tidak penting dalam mesin besar kehidupan. Rori hanya mendengarkan, sesekali mengeong pelan, seolah-olah menyetujui apa yang kukatakan.
“Aku rasa kau lebih mengerti aku daripada siapa pun,” kataku suatu malam, saat dia meringkuk di dekat kakiku. “Lucu, ya? Seekor kucing liar yang bahkan tidak tahu aku siapa.”
Dia mengeong pelan, lalu melompat ke pangkuanku. Aku terkejut, tapi tidak menolaknya. Bulu kasarnya lembut di bawah tanganku, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak begitu kosong.
Suatu malam, aku pulang lebih larut dari biasanya. Hujan turun deras, dan aku khawatir Rori tidak akan ada di sana. Tapi ketika aku tiba di sudut jalan itu, dia sudah menungguku, tubuhnya basah kuyup. Aku berjongkok, mengulurkan tanganku, dan dia langsung melompat ke pelukanku, menggigil kedinginan.
Tanpa berpikir panjang, aku membawanya pulang.
Di apartemen kecilku, aku mengeringkan bulunya dengan handuk tua. Dia duduk diam di sofa, menatapku dengan mata besarnya yang bulat. Untuk pertama kalinya, aku merasa apartemenku yang biasanya terasa sepi dan kosong menjadi lebih hidup.
“Selamat datang di rumahku,” kataku sambil tersenyum kecil.
Dia mengeong pelan, lalu melingkarkan tubuhnya di sofa. Malam itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang berubah. Seolah-olah kesendirian yang selama ini menghantui tidak lagi sebesar sebelumnya.
Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya luput dari perhatian. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela, suara burung yang jarang terdengar di kota ini, atau bahkan aroma kopi yang baru saja diseduh. Kehadiran Rori mengubah cara pandangku terhadap dunia, meskipun aku tidak tahu bagaimana atau kenapa.
Tetapi hidup, seperti biasa, tidak pernah memberikan kebahagiaan tanpa ujian.
Suatu malam, aku pulang dan tidak menemukan Rori di apartemen. Aku mencarinya di setiap sudut ruangan, di bawah meja, di belakang sofa, bahkan di kamar mandi. Tapi dia tidak ada di mana-mana. Aku membuka pintu apartemen dan berlari ke jalan, berharap dia kembali ke tempat di mana aku pertama kali menemukannya.
Hujan turun lagi malam itu, deras dan dingin. Aku berdiri di bawah lampu jalan, memanggil namanya, tapi tidak ada tanda-tanda Rori. Trotoar yang biasanya menjadi tempat pertemuan kami kini terasa begitu sepi, seperti cermin dari perasaanku sendiri.
Aku menghabiskan waktu berjam-jam mencarinya, berjalan menyusuri gang-gang sempit dan jalan-jalan yang hampir tidak kukenal. Tapi dia tetap tidak ada. Ketika aku akhirnya kembali ke apartemen, tubuhku basah kuyup, dan perasaan kehilangan menghantamku seperti ombak besar.
Malam itu, aku duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Tanpa Rori, apartemen itu kembali menjadi tempat yang sunyi dan dingin. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri, bagian yang baru saja kutemukan tetapi kini hilang lagi.
Aku tidak tahu berapa lama aku akan terus mencarinya. Tapi aku tahu satu hal: kucing kecil itu telah meninggalkan jejak yang tidak akan pernah hilang dalam hidupku. Dia mengajarkanku bahwa bahkan dalam kesendirian yang paling dalam, ada harapan untuk menemukan kehangatan, meskipun hanya sejenak.
Dan mungkin, suatu hari nanti, di bawah lampu jalan yang sama, aku akan menemukannya lagi. Atau setidaknya, aku akan menemukan diriku sendiri.
Post a Comment