Jejak Langkahnya

Ilustrasi jejak langkah kaki di pasir. Source: Canva

Timeline.id - Aku masih ingat hari itu, meskipun seharusnya sudah kabur dari ingatanku, seperti gulungan ombak yang lenyap di pasir basah. Hari itu, pantai sepi—terlalu sepi untuk sebuah akhir pekan. Langit kelabu menggantung rendah, seperti perasaan yang terlalu berat untuk dilepaskan. Aku berada di sana untuk satu alasan sederhana: membekukan waktu melalui lensa kameraku. Bukan karena cinta pada fotografi, melainkan karena kebutuhanku untuk melarikan diri dari kota yang menyesakkan.

Pantai itu bernama Parang Songo, di sisi selatan sebuah desa kecil yang jarang ditemukan dalam peta. Tidak ada penjual jagung bakar, tidak ada suara anak-anak bermain pasir. Hanya debur ombak dan suara burung camar yang mengisi kekosongan udara. Aku merasa seolah-olah telah memasuki dunia yang terisolasi, terperangkap antara laut dan daratan yang tak berujung.

Pagi itu aku berjalan tanpa arah, membiarkan langkahku mengikuti irama angin. Lensa kamera Canon tua yang kugantungkan di leher terasa dingin di kulit, mengingatkan aku bahwa aku sedang bekerja, meskipun sesungguhnya aku tidak benar-benar menginginkannya. Aku hanya menekan tombol shutter tanpa berpikir, menangkap pemandangan yang biasa saja: pasir, ombak, jejak kaki yang hampir terhapus.

Namun kemudian, aku melihatnya.

Seorang perempuan berdiri di tepi air, punggungnya menghadap ke arahku. Angin menggulung rambut panjangnya, dan bajunya yang berwarna putih seakan melayang, menyatu dengan kabut tipis yang menyelimuti pantai. Dia berdiri diam, nyaris tidak bergerak, seperti patung marmer yang dipahat dengan hati-hati. Aku tidak tahu apa yang menarik perhatianku, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara tubuhnya berinteraksi dengan lanskap di sekitarnya. Dia terlihat seperti bagian dari pantai itu, seolah-olah dia selalu ada di sana, menunggu untuk ditemukan.

Refleksku sebagai fotografer mengambil alih. Aku mengangkat kamera dan mulai memotret. Aku tahu aku tidak meminta izin, tapi saat itu, rasanya tidak perlu. Dia tidak menoleh, tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari keberadaanku. Aku terus mengambil gambar—sudut yang berbeda, jarak yang berbeda—sampai aku merasa puas. Dan ketika akhirnya aku menurunkan kamera, aku menyadari dia sudah tidak ada.

Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada jejak di pasir yang menunjukkan arah perginya. Dia menghilang begitu saja, seperti mimpi yang terlupakan begitu kau membuka mata. Aku berdiri di sana, terperangkap dalam kebingungan dan rasa penasaran, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang.

Tahun-tahun berlalu, dan foto-foto itu tetap menjadi koleksi yang paling sering kulihat kembali. Setiap kali aku membuka album digital itu, aku merasa ada sesuatu yang salah. Bukan tentang teknik atau komposisi, tapi tentang kehadirannya. Aku tidak pernah bisa menjelaskan apa yang membuat gambar-gambar itu terasa begitu hidup, begitu nyata, padahal aku tahu mereka hanyalah representasi dua dimensi dari momen yang sudah lewat.

Hari itu, aku memutuskan untuk mencetak salah satu fotonya—gambar terbaiknya, menurutku. Dia berdiri dengan kepala sedikit tertunduk, rambutnya melayang seperti ditarik oleh angin laut. Latar belakangnya adalah ombak yang pecah di garis pantai. Aku meletakkan cetakan itu di studio kecilku, bingkai kayu sederhana melindunginya dari debu.

Satu hal aneh terjadi setelah itu. Foto itu tidak pernah membiarkanku tenang. Setiap kali aku memandangnya, ada perasaan yang menggelitik di dasar pikiranku, seperti seseorang yang memanggil namaku dari jauh. Kadang-kadang aku mendapati diriku menatap gambar itu selama berjam-jam, mencari detail yang mungkin terlewatkan. Aku mulai bermimpi tentang pantai itu, tentang perempuan itu. Dalam mimpiku, dia tidak pernah berbicara. Dia hanya berdiri di sana, menatapku dengan mata yang tidak pernah kulihat langsung.

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke Parang Songo.

Pantai itu tidak banyak berubah, meskipun waktu telah berlalu. Pohon-pohon kelapa yang sama masih berjajar di tepiannya, dan pasir putihnya masih terasa dingin di bawah kakiku. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Suasananya terasa lebih berat, lebih sunyi, seolah-olah pantai itu telah menungguku kembali. Aku berjalan menyusuri garis pantai, mencoba mengingat di mana aku berdiri saat memotretnya. Jejak langkahku menoreh pasir basah, mengingatkan aku pada jejak yang tidak pernah kulihat di fotonya.

Hari pertama aku tidak menemukan apa-apa. Begitu pula hari kedua, ketiga, dan seterusnya. Setiap pagi aku bangun dengan harapan melihatnya lagi, dan setiap malam aku tidur dengan rasa kecewa yang menghantui. Tapi aku tidak bisa menyerah. Ada sesuatu yang mendorongku, sesuatu yang lebih kuat dari rasa lelah dan frustrasi.

Minggu ketiga, aku melihat sebuah tanda. Di pasir, tepat di tempat aku mengambil fotonya bertahun-tahun lalu, ada sepasang jejak kaki. Mereka memanjang ke arah laut, berhenti di tepi air. Aku berlutut untuk memeriksanya lebih dekat, berharap menemukan petunjuk apa pun yang bisa menjelaskan keberadaannya. Tapi jejak itu hanya jejak biasa. Tidak ada yang istimewa, kecuali satu hal: ukurannya cocok dengan kaki seorang perempuan.

Aku menoleh ke arah laut, dan di sanalah dia.

Dia berdiri di tempat yang sama seperti dulu, rambutnya tertiup angin, gaun putihnya melambai-lambai. Tapi kali ini, dia tidak membelakangiku. Dia menghadap ke arahku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat wajahnya. Mata cokelat gelapnya menatap langsung ke mataku, penuh dengan emosi yang sulit kuartikan. Aku merasakan sesuatu di dadaku, seperti gelombang pasang yang tiba-tiba muncul dari dasar laut.

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana, terpaku oleh pandangannya. Tapi ketika aku mencoba mendekatinya, dia menghilang—lagi. Seperti kabut yang tertiup angin, dia lenyap tanpa suara, meninggalkan aku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Aku kembali ke studio dengan perasaan campur aduk. Apa yang sebenarnya sedang kucari? Siapa dia? Dan mengapa dia terus muncul dan menghilang seperti bayangan dalam mimpi?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam pantai. Tapi ada satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak bisa berhenti mencarinya. Dia adalah teka-teki yang harus kuselesaikan, sebuah jejak yang harus kuikuti, bahkan jika itu berarti mengorbankan segalanya.

Aku menyalakan komputer dan mulai mencari segala informasi tentang pantai itu, tentang legenda, cerita rakyat, apa saja yang mungkin memberiku petunjuk. Dan di situlah aku menemukan sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri.

Namanya tertulis di salah satu artikel tua yang mengulas tentang Parang Songo. Perempuan itu memiliki nama. Tapi lebih dari itu, dia memiliki cerita. Dan ceritanya jauh lebih kelam daripada yang pernah kubayangkan.

Namanya Rinjani.

Itu yang tertulis dalam artikel yang kutemukan. Artikel itu tidak panjang, hanya beberapa paragraf yang mengisahkan cerita-cerita lokal tentang seorang perempuan muda yang, bertahun-tahun lalu, tenggelam di pantai Parang Songo. Tidak ada tanggal yang pasti, tidak ada rincian tentang keluarganya, hanya cerita kabur tentang bagaimana dia sering terlihat berjalan di tepi pantai saat senja, sendirian, dengan mata yang selalu memandang ke laut.

“Dia menunggu seseorang,” begitu salah satu kutipan dari seorang nelayan tua yang diwawancarai dalam artikel itu.

Aku membaca ulang kalimat itu berulang kali, merasakan dinginnya makna yang menyelinap ke dalam pikiranku. Menunggu seseorang. Siapa? Dan kenapa aku merasa kalimat itu seperti ditujukan langsung kepadaku?

Aku menghabiskan malam itu menelusuri lebih dalam, mencari lebih banyak cerita tentang Rinjani, tentang pantai itu, tentang segala sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan apa yang telah terjadi. Tapi pencarian itu tidak memberiku apa-apa kecuali spekulasi dan dongeng yang terdengar tidak masuk akal. Ada yang mengatakan Rinjani adalah korban cinta yang berakhir tragis, ada yang menganggap dia adalah jelmaan roh laut. Tapi tidak ada yang bisa memberiku kepastian.

Pagi harinya, aku memutuskan untuk kembali ke Parang Songo.

Aku tiba di pantai saat matahari baru saja muncul, langit dipenuhi warna oranye dan merah muda yang menyatu dengan debur ombak. Angin pagi membawa aroma asin yang menusuk, dan pasirnya terasa dingin di bawah kakiku. Aku membawa kamera, tapi aku tahu aku tidak akan memotret apa pun hari ini. Aku datang bukan sebagai fotografer, melainkan sebagai seseorang yang ingin mencari jawaban.

Aku berjalan menyusuri garis pantai, mencoba merasakan jejak langkahku sendiri, seperti menelusuri kembali jalur yang telah kulupakan. Di tempat aku melihat jejak langkah kemarin, tidak ada apa-apa. Pasirnya halus, seolah tidak pernah disentuh siapa pun. Tapi aku tidak merasa kecewa. Sebaliknya, ada perasaan tenang yang aneh, seperti aku tahu bahwa segala sesuatu akan segera terungkap.

Aku berdiri di tepi air, memandang ke arah cakrawala. Ombak menghantam kakiku, dan suara burung camar melintas di atas kepala. Di momen itu, aku mendengar sesuatu—suara lembut yang hampir tidak terdengar, seperti seseorang memanggil namaku.

“Eno…”

Aku menoleh, dan di sanalah dia.

Rinjani berdiri beberapa meter dariku, mengenakan gaun putih yang sama seperti sebelumnya. Tapi kali ini, dia tidak tampak seperti bayangan yang memudar. Dia tampak nyata, lebih nyata daripada apa pun yang pernah kulihat. Rambutnya tergerai di bahunya, dan matanya yang gelap menatapku dengan intensitas yang hampir tak tertahankan.

“Kau mencariku,” katanya.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ada ribuan pertanyaan yang ingin kuajukan, tapi tenggorokanku terasa kering.

“Kau memotretnya, bukan?” Dia menunjuk ke arah kamera yang tergantung di leherku. “Foto itu… itulah alasan kau di sini.”

Aku mengangguk, masih terlalu terkejut untuk berbicara.

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tidak punya jawaban. Aku tidak tahu kenapa aku terobsesi dengannya, kenapa aku tidak bisa melupakannya, kenapa aku terus kembali ke pantai ini. Tapi aku tahu satu hal: aku harus menemukannya.

“Kau tidak seharusnya berada di sini,” katanya pelan, suaranya terdengar seperti desiran angin. “Tapi sekarang kau sudah datang, jadi kau harus tahu.”

Dia mulai berjalan menjauh, menuju garis ombak. Aku mengikutinya tanpa berpikir, membiarkan langkahku selaras dengan langkahnya. Aku merasa seperti sedang berada dalam mimpi, tapi setiap detilnya terasa terlalu nyata—pasir basah di bawah kakiku, suara air yang menyentuh kulitku, aroma laut yang menyengat.

“Dulu, aku juga menunggu seseorang,” katanya tanpa menoleh. “Seseorang yang pernah berjanji akan kembali. Tapi dia tidak pernah kembali.”

Aku ingin bertanya siapa yang dia maksud, tapi sesuatu dalam suaranya menghentikanku.

“Waktu berlalu, tapi aku tetap menunggu. Aku pikir, kalau aku terus menunggu, dia akan datang. Tapi aku salah. Yang datang justru kau.”

Dia berhenti di tepi air, membiarkan ombak membasahi kakinya. Aku berdiri di sebelahnya, merasakan dinginnya air laut yang menyentuh kulitku.

“Kau harus berhenti mencariku,” katanya. “Karena aku tidak lagi ada di dunia yang sama denganmu.”

Aku menoleh ke arahnya, mencoba memahami apa yang dia maksud. Tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, dia mengulurkan tangannya.

“Ini untukmu.”

Di telapak tangannya, ada sesuatu yang kecil dan berkilauan. Sebuah liontin perak berbentuk bintang laut. Aku mengambilnya dengan ragu, merasakan dinginnya logam itu di kulitku.

“Aku hanya ingin seseorang mengingatku,” katanya pelan. “Sekarang kau sudah melakukannya. Jadi kau bebas.”

Sebelum aku bisa bertanya apa yang dia maksud, dia melangkah ke dalam air, lebih jauh dan lebih jauh, sampai ombak menelan tubuhnya. Aku berlari mengejarnya, tapi dia sudah menghilang—seperti kabut yang tersapu angin.

Aku meninggalkan pantai itu dengan perasaan campur aduk. Aku merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar kumiliki, tapi di saat yang sama, aku merasa lebih ringan, seperti beban yang telah kupikul selama bertahun-tahun akhirnya dilepaskan.

Liontin itu kini tergantung di leherku, sebuah pengingat akan pertemuan yang tidak akan pernah kulupakan. Kadang-kadang, aku masih bermimpi tentang Rinjani, tentang pantai itu, tentang suaranya yang lembut memanggil namaku. Tapi aku tidak lagi merasa perlu mencarinya.

Dia sudah menjadi bagian dari ingatanku, bagian dari kisah yang akan selalu kubawa, ke mana pun aku pergi.

Dan jejak langkahku di pasir—seperti jejak langkahnya—akan terus menghilang, tersapu oleh waktu, tapi tidak pernah benar-benar hilang. 

Post a Comment

Previous Post Next Post