Hujan Di Tengah Dialog Kita

Ilustasi Cafe. Source: Canva

Timeline.id - Hujan mulai jatuh seperti tirai tipis yang ditarik dari langit, menciptakan suara lembut yang mengiringi langkah kaki para pejalan kaki di trotoar. Kota ini selalu terasa berbeda saat hujan, seperti menyembunyikan sesuatu di balik rinai yang memayungi aspal. Aku berhenti di sebuah kafe kecil di sudut jalan, memandang ke luar jendela besar yang dipenuhi titik-titik air. Ada aroma kopi yang samar bercampur dengan dinginnya udara basah, membangkitkan kenangan yang seharusnya telah terkubur.

“Maaf, apakah kursi ini kosong?” Sebuah suara menghentikan pikiranku. Aku mendongak dan menemukan wajah yang seakan telah hilang dari ruang waktu. Pria itu berdiri di sana, dengan mantel gelap dan rambut yang sedikit basah oleh hujan. Mata kami bertemu, dan untuk beberapa detik, dunia terasa hening.

“Tentu,” jawabku akhirnya, berusaha menyembunyikan keterkejutan yang merayap di wajahku. Dia duduk dengan gerakan tenang, seperti tidak menyadari betapa rapuhnya atmosfer yang tiba-tiba terbentuk di antara kami.

“Lama tidak bertemu, Nara,” katanya, sambil melepaskan syal yang melingkari lehernya. Suaranya seperti melintasi waktu, membawa kembali malam-malam penuh percakapan yang dulu terasa tak berujung.

“Iya, lama sekali,” aku mengangguk, mencoba menjaga suaraku tetap stabil. “Bagaimana kabarmu, Arka?”

Dia tersenyum tipis, senyuman yang pernah menjadi bagian dari kehidupanku. “Baik, kurasa. Hidup masih berjalan, meskipun tidak selalu sesuai dengan rencana.”

Ada jeda canggung yang menggantung di antara kami. Aku memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan perhatian dari fakta bahwa dia ada di sini, di hadapanku, setelah bertahun-tahun tanpa kabar. Hujan terus turun, seperti ingin menjadi latar belakang yang sempurna untuk percakapan ini.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” ujarnya, memecah kesunyian.

“Aku juga tidak,” jawabku jujur. “Kota ini besar, tapi entah kenapa dunia terasa kecil sekarang.”

Dia tertawa kecil, suara yang nyaris terlupakan namun tetap akrab. “Mungkin semesta memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan kita.”

Aku tidak tahu harus merespons apa. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat dadaku sesak. Mungkin karena aku tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar kebetulan.

“Kamu masih suka hujan?” dia bertanya tiba-tiba, matanya menatap keluar jendela.

Aku mengangguk. “Hujan selalu terasa menenangkan. Membawa ingatan yang… tidak selalu ingin diingat.”

Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. “Kamu masih sama seperti dulu. Selalu punya cara untuk membuat hal-hal kecil terdengar mendalam.”

“Dan kamu masih pandai membaca orang,” balasku, mencoba tersenyum. Tapi senyumku terasa lemah, seperti mencoba menutupi sesuatu yang sudah terlalu lama tersembunyi.

Ada keheningan lagi, tapi kali ini tidak sepenuhnya canggung. Seperti ada pemahaman diam-diam di antara kami bahwa percakapan ini sedang mencoba mencari bentuknya. Aku memutar cangkir kopi di tanganku, memandang cairan hitam yang berputar pelan.

“Kenapa kamu pergi waktu itu?” Pertanyaan itu keluar sebelum aku sempat menahannya. Suaraku hampir berbisik, tapi cukup keras untuk menembus suara hujan di luar.

Arka terlihat terkejut. Dia menunduk, menggenggam cangkir kopinya seakan mencari jawaban di dalamnya. “Aku… tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Mungkin dari kebenarannya,” kataku, nada suaraku sedikit lebih tajam dari yang kumaksudkan.

Dia menghela napas panjang. “Waktu itu, aku merasa… hilang. Seperti ada sesuatu yang salah dengan hidupku, dan aku tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Pergi adalah satu-satunya cara yang kupikir bisa membuat segalanya lebih baik. Tapi aku salah.”

“Kamu salah?” tanyaku, menatapnya tajam. “Kamu pergi tanpa kata, tanpa penjelasan. Kamu meninggalkan semua begitu saja, termasuk aku.”

Dia mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya aku melihat penyesalan yang begitu dalam di matanya. “Aku tahu. Dan aku tidak pernah berhenti menyesali itu.”

Ada sesuatu di dalam diriku yang ingin marah, ingin melepaskan semua rasa sakit yang telah bertahun-tahun terkubur. Tapi melihatnya di sini, dengan segala kesalahannya, aku merasa bahwa marah tidak akan mengubah apa pun.

“Hidup terus berjalan, Arka,” kataku pelan. “Tapi lukanya tetap ada.”

Dia mengangguk, seolah menerima kenyataan itu. “Aku tidak berharap kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Dan aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi, meskipun aku tidak pantas untuk itu.”

Aku terdiam. Kata-katanya seperti hujan yang jatuh di atas tanah kering, menciptakan genangan kecil yang mencerminkan bayangan masa lalu. Ada bagian dari diriku yang ingin mempercayainya, tapi ada juga yang ragu.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu,” kataku akhirnya. “Tapi aku senang kita bertemu lagi. Mungkin ini caranya semesta memberi kita kesempatan untuk menutup cerita yang belum selesai.”

Dia tersenyum, kali ini sedikit lebih hangat. “Aku harap begitu.”

Hujan mulai mereda di luar, meninggalkan aroma tanah basah yang khas. Aku memandang Arka sekali lagi, pria yang pernah menjadi segalanya bagiku, yang kemudian menjadi luka yang tak terucapkan. Mungkin hujan ini adalah metafora dari hubungan kami—membasahi, membersihkan, dan pada akhirnya, meninggalkan jejak yang samar tapi abadi.

“Terima kasih telah mau berbicara denganku,” katanya ketika kami akhirnya berdiri untuk pergi.

Aku mengangguk. “Terima kasih juga telah mencoba menjelaskan.”

Kami berjalan keluar dari kafe, masing-masing membawa payung. Di bawah langit yang masih kelabu, kami berpisah di persimpangan jalan tanpa janji untuk bertemu lagi. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lebih ringan, seperti beban yang selama ini menekan dadaku akhirnya mulai terangkat.

Hujan telah berhenti, tapi aku tahu kenangan tentang pertemuan ini akan tetap tinggal, seperti embun yang tertinggal di dedaunan setelah badai berlalu.

Post a Comment

Previous Post Next Post