Hujan di Balik Jendela Kaca

Ilustrasi Cerpen Hujan di Balik Jendela Kaca

Timeline.id - Aku duduk di sudut kafe kecil, mengaduk teh hijauku yang sudah dingin. Di luar, hujan turun seperti tirai abu-abu yang memisahkan dunia luar dan dunia dalam. Kafe itu sepi, hanya ada aku dan seorang pria tua yang duduk di dekat pintu, membaca koran yang sudah terlalu lusuh. Musik jazz klasik mengalun pelan dari speaker kecil di sudut ruangan, menciptakan suasana yang hangat, meskipun dunia di luar terasa dingin dan basah.

Kemudian dia datang. Seorang perempuan muda dengan rambut sebahu, mengenakan mantel hitam yang sedikit terlalu besar untuk tubuhnya. Dia membuka pintu kafe, dan aroma hujan menyelinap masuk bersamanya. Mata kami bertemu sejenak sebelum dia melangkah ke arah meja di depanku dan duduk tanpa berkata apa-apa.

"Apakah aku mengganggumu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut namun tegas.

Aku menggeleng pelan. "Tidak sama sekali."

Dia mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, membuka halaman tengah, dan mulai menulis sesuatu dengan pensil pendek yang terlihat seperti sudah digunakan bertahun-tahun. Aku memperhatikannya dari balik cangkir tehku. Ada sesuatu tentang cara dia menulis, bagaimana tangannya bergerak cepat namun hati-hati, yang membuatku penasaran.

"Apa yang kau tulis?" tanyaku, akhirnya memberanikan diri.

Dia berhenti, mengangkat wajahnya, dan tersenyum samar. "Mimpi."

"Mimpi?"

Dia mengangguk. "Aku sering bermimpi aneh belakangan ini. Jika aku tidak menuliskannya, aku akan melupakannya."

Aku mengangguk pelan, meskipun aku tidak sepenuhnya memahami apa yang dia maksud. "Mimpi seperti apa?"

Dia menatapku sejenak, lalu menutup bukunya. "Apakah kau pernah merasa terjebak di antara dua dunia? Satu dunia di mana kau hidup, dan dunia lain yang hanya ada di dalam kepalamu?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-katanya terdengar asing namun entah bagaimana, juga akrab.

"Kadang aku merasa seperti itu," lanjutnya. "Seperti ada sesuatu di balik hujan ini, sesuatu yang nyata namun tak bisa disentuh."

Aku mengalihkan pandanganku ke jendela. Hujan masih deras, menciptakan pola acak di kaca. Dan untuk sesaat, aku merasa dia benar. Ada sesuatu di balik hujan itu, sesuatu yang tidak bisa kulihat, tetapi aku bisa merasakannya—seperti napas lembut di leherku atau bayangan yang bergerak di sudut mataku.

"Kau tahu," katanya lagi, "aku sering bermimpi tentang kafe ini."

Aku tertegun. "Mimpi tentang kafe ini?"

Dia mengangguk. "Dalam mimpiku, aku selalu duduk di meja ini, menulis. Dan kau selalu ada di sini, duduk di mejamu, mengaduk teh hijau yang sudah dingin. Tapi ada satu perbedaan."

"Apa itu?"

Dia tersenyum, senyum yang terasa seperti rahasia yang terlalu besar untuk dibagikan. "Di dalam mimpiku, hujan ini tidak pernah berhenti."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Hujan di luar memang masih turun, dan entah kenapa aku merasa hujan itu memang tidak akan pernah berhenti. Aku mengaduk tehku lagi, mencoba mengabaikan rasa aneh yang perlahan merayap ke dalam pikiranku.

Hari berlalu, dan aku terus kembali ke kafe itu. Setiap kali aku datang, dia selalu ada di sana, duduk di meja yang sama, menulis di buku catatannya. Kami berbicara lebih banyak, tentang mimpi-mimpinya, tentang hujan yang tak pernah berhenti, dan tentang perasaan aneh yang selalu mengikutinya.

"Aku merasa aku tidak seharusnya ada di sini," katanya suatu hari. "Seperti aku hanyalah tamu di dunia ini, dan suatu saat, aku harus kembali."

"Kembali ke mana?" tanyaku.

Dia menggeleng pelan, menatap jendela. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin tempat itu ada, di balik hujan ini."

Kata-katanya menghantuiku. Aku mulai merasa ada sesuatu yang salah dengan dunia di sekitarku. Hujan tidak pernah benar-benar berhenti sejak hari aku bertemu dengannya. Langit selalu abu-abu, dan udara selalu membawa aroma basah yang samar. Aku bahkan mulai bermimpi tentang hujan, tentang kafe itu, dan tentang perempuan itu yang selalu menulis di buku catatannya.

Sampai suatu hari, dia tidak datang.

Aku duduk di mejaku, menunggu, tapi dia tidak pernah muncul. Hujan di luar terasa lebih dingin dari biasanya, dan kafe itu terasa lebih sepi. Aku mencoba bertanya kepada pemilik kafe, tapi dia hanya menggeleng.

"Perempuan itu?" katanya. "Aku tidak pernah melihatnya."

Aku tertegun. "Dia selalu duduk di sini, di meja itu."

Pemilik kafe mengangkat bahu. "Mungkin hanya imajinasimu."

Aku tidak percaya. Aku tahu dia nyata. Aku tahu dia pernah ada di sini. Tapi saat aku melihat meja tempat dia biasa duduk, aku melihat sesuatu yang membuatku merinding.

Sebuah buku catatan kecil tergeletak di sana, basah oleh hujan yang entah bagaimana menetes melalui atap. Aku membukanya dengan tangan gemetar. Halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya, tetapi aku tahu itu miliknya.

Di halaman terakhir, ada satu kalimat yang membuatku kehilangan napas.

"Kembalilah, sebelum hujan berhenti."

Aku menatap jendela. Hujan masih turun, tapi aku tahu waktu tidak akan lama. Aku mengambil buku itu dan keluar, membiarkan hujan membasahi tubuhku. Aku berjalan tanpa arah, hanya mengikuti naluri, berharap aku bisa menemukan sesuatu—atau seseorang—di balik tirai hujan ini.

Dan di sanalah aku melihatnya, berdiri di ujung jalan, tersenyum kepadaku sebelum perlahan menghilang ke dalam kabut.

Saat itu, hujan berhenti.

Dan dunia terasa sangat sunyi.

Post a Comment

Previous Post Next Post