Timeline.id - Hujan mengguyur Jakarta dengan ritme monoton, seperti sebuah lagu lama yang tak pernah berhenti diputar. Dari jendela apartemennya di lantai 17, Radit memandang jalan Sudirman yang padat, meski waktu menunjukkan hampir tengah malam. Lampu kendaraan memantul di genangan air, menciptakan ilusi cahaya yang seolah menari-nari di jalan aspal. Tapi baginya, semua itu tak lebih dari kebisingan kosong.
Sejak ia pindah ke Jakarta dari Bandung awal tahun itu, kehidupan Radit terasa seperti perjalanan tanpa tujuan. Ia bekerja sebagai penerjemah lepas, menerjemahkan dokumen dan novel yang tak pernah ia baca secara utuh. Sering kali, ia merasa hanya menjadi mesin untuk memindahkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain. Malam-malamnya berlalu dengan sepi, ditemani kopi hitam yang selalu dingin sebelum habis dan bunyi denting jam dinding.
Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatiannya: seorang perempuan misterius yang berdiri di bawah halte bus setiap pukul 22.00, terlepas dari hujan atau tidak. Dia selalu mengenakan mantel panjang warna biru tua dan memegang payung transparan. Radit tak pernah tahu siapa dia, tapi keberadaannya menjadi semacam pengingat bahwa ada sesuatu di luar rutinitas monoton yang ia jalani.
Suatu malam, dorongan untuk mendekati perempuan itu semakin kuat. Radit memutuskan turun dan berjalan menuju halte. Hujan masih turun, dan suara gemericiknya memecah kesunyian. Ketika ia tiba, perempuan itu masih di sana, berdiri dengan tenang sambil menatap ke arah jalan.
“Malam,” sapa Radit dengan suara ragu.
Perempuan itu menoleh perlahan. Mata mereka bertemu. Ada sesuatu di tatapannya — seperti kabut yang menyimpan rahasia terlalu dalam untuk diungkapkan.
“Malam,” jawabnya singkat. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan. Tapi ada nada dingin di baliknya.
Radit ingin melanjutkan percakapan, tapi kata-kata seolah hilang begitu saja. Perempuan itu tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Radit hanya bisa memandang punggungnya menjauh, hingga akhirnya ia menghilang di tikungan jalan.
Esok harinya, rasa penasaran Radit semakin membesar. Ia mencari alasan untuk kembali ke halte pada jam yang sama, berharap bisa bertemu lagi. Tapi malam itu, perempuan itu tak ada di sana. Begitu juga malam berikutnya. Radit mulai merasakan kehampaan yang tak ia pahami. Seolah sesuatu yang tak pernah benar-benar ia miliki telah diambil darinya.
Suatu malam, saat ia termenung di apartemennya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Radit membuka, dan di sana berdiri perempuan itu, masih dengan mantel biru tua dan payung transparannya. Wajahnya tampak lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu.
“Boleh aku masuk?” tanyanya tanpa basa-basi.
Tanpa berpikir panjang, Radit mengangguk dan mempersilakannya masuk. Perempuan itu duduk di sofa kecil di ruang tamu, memandang ke arah jendela yang menghadap jalan.
“Aku suka tempat ini. Tinggi dan jauh dari keramaian. Tapi tetap bisa melihat semuanya dari atas,” katanya sambil tersenyum tipis.
Radit merasa ada sesuatu yang aneh. Cara dia berbicara, caranya duduk, bahkan cara dia memandang seolah-olah dia sudah mengenal tempat ini dengan sangat baik.
“Siapa kamu sebenarnya?” Radit akhirnya bertanya.
Perempuan itu menoleh, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kilatan emosi di matanya. Tapi bukan emosi yang biasa. Itu seperti perpaduan antara kesedihan mendalam dan keputusasaan.
“Aku... bayangan yang kau cari di tengah kesepian ini,” jawabnya samar.
Malam itu, perempuan itu bercerita tentang kehidupannya. Ia menyebut namanya Hana. Ia pernah tinggal di apartemen yang sama beberapa tahun lalu. Ia kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan sejak itu, ia terjebak dalam rutinitas yang sama setiap malam, berdiri di halte menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
“Aku hanya ingin tahu apakah rasa kehilangan ini akan hilang kalau aku terus berada di tempat yang sama,” katanya pelan.
Radit merasa ada kemiripan yang ganjil antara dirinya dan Hana. Mereka berdua adalah jiwa-jiwa yang tersesat di tengah hiruk pikuk Jakarta, mencari arti di balik keberadaan mereka. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Hana bangkit dari sofa.
“Aku harus pergi,” katanya tanpa penjelasan.
“Kita akan bertemu lagi?” tanya Radit, tapi Hana hanya tersenyum samar sebelum membuka pintu dan menghilang di balik hujan.
Hari-hari berlalu, dan Hana tak pernah kembali. Radit mencoba mencari tahu tentang dirinya, tapi seolah-olah perempuan itu tak pernah benar-benar ada. Tidak ada catatan penghuni bernama Hana di apartemen itu. Tidak ada yang mengenalnya di lingkungan sekitar.
Namun, setiap kali hujan turun, Radit merasa kehadiran Hana. Payung transparan yang tergantung di belakang pintunya menjadi satu-satunya bukti bahwa ia pernah ada. Dalam kesepiannya, Radit menyadari bahwa mungkin Hana adalah refleksi dari apa yang ia takutkan selama ini: kehilangan yang tak pernah benar-benar bisa dijelaskan.
Jakarta tetap sibuk, tetap berisik, tapi bagi Radit, kota itu menjadi tempat di mana ia menemukan dan kehilangan sesuatu yang ia sendiri tak yakin nyata atau hanya ilusi. Di balik jendela apartemennya, ia memandang hujan yang terus turun, berharap suatu saat bayangan itu kembali mengetuk pintunya.
Post a Comment