Buat Yang Baru Patah Hati

Segelas kopi disebuah kafe. Source: Canva

Timeline.id - Ketika pintu kafe itu berderit terbuka, aroma kopi yang pekat langsung menyergap indra penciumanku. Di sudut kota yang sibuk ini, kafe kecil bernama "Lantai Tiga" menjadi semacam tempat pelarian bagiku. Lampu temaram, deretan buku tua di rak kayu, dan alunan musik jazz yang mengalir pelan. Di sini, waktu terasa melambat, seolah dunia luar dengan segala keramaian dan kebisingannya tak lagi relevan.

Aku memilih duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Langit mendung di luar mempertegas suasana hatiku. Gelas kopi hitamku sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi aku tak peduli. Di hadapanku, buku yang tak pernah kubaca sejak kubeli dua bulan lalu tergeletak terbuka, halamannya penuh coretan. Tanganku sibuk mencorat-coret garis-garis tak beraturan di sudut halaman. Entah mengapa, aku merasa menggambar sesuatu yang abstrak lebih masuk akal daripada mencoba memahami isi buku itu.

Patah hati. Dua kata sederhana yang belakangan ini terasa seperti mantra kutukan. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya seperti seseorang merobek bagian tengah dadaku lalu meninggalkannya begitu saja, terbuka dan dingin. Aku mencoba merangkai logika, mencari di mana salahnya, tapi tidak ada jawaban. Yang tersisa hanya hampa.

"Kamu suka sendirian, ya?"

Suaranya muncul begitu saja dari arah belakang, seperti lembaran angin yang menyelinap tanpa izin. Aku mendongak, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan senyum tipis dan rambut pendek yang terlihat acak-acakan tapi entah kenapa tampak pas untuknya. Ia memegang secangkir teh hijau, uapnya masih tipis-tipis naik. Aku hanya menatapnya beberapa detik tanpa bicara. Pertanyaan yang barusan ia lontarkan menggantung di udara.

"Maaf, aku terlalu langsung. Aku lihat kamu sudah di sini sejak tadi, sendirian, dan kelihatannya sedih," lanjutnya sambil menarik kursi di hadapanku tanpa menunggu jawaban. Sebelum aku sempat memprotes, dia sudah duduk di sana, mengatur posisi cangkir tehnya di meja.

"Aku cuma... butuh tempat untuk sendiri," jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih seperti gumaman.

Dia tersenyum, matanya mengamati wajahku seolah sedang membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi datar yang coba kupasang. "Aku juga sering ke sini kalau lagi nggak tahu harus ke mana. Kafe ini seperti ruang tunggu, tempat kita berhenti sebentar sebelum memutuskan akan pergi ke mana."

Aku tak tahu harus menanggapi apa, jadi aku hanya mengangguk pelan. Perempuan ini memiliki cara bicara yang tenang tapi penuh irama, seperti sedang bercerita dalam seminar kecil. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa bahwa kehadirannya bukanlah kebetulan.

"Jadi, apa yang membuatmu terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan setengah hidupnya?" tanyanya sambil menyeruput tehnya. Ia tidak tampak seperti orang yang takut menyentuh luka orang lain, bahkan luka yang masih menganga.

Aku menatap ke luar jendela, mencoba menghindari matanya. Mobil-mobil melintas, orang-orang berjalan terburu-buru di trotoar. Rasanya hampir lucu bagaimana dunia tetap berjalan, meski di dalam diriku semuanya terasa berhenti.

"Putus cinta," jawabku akhirnya. Kata-kata itu keluar lebih berat dari yang aku duga. "Dia meninggalkanku."

"Oh, klasik," balasnya tanpa nada mengejek. "Tapi itu nggak membuat rasa sakitnya jadi lebih ringan, ya?"

Aku mengangguk lagi. Kali ini lebih pelan, seperti gerakan refleks. Dia tidak bertanya lebih jauh, hanya duduk di sana dengan senyum samar, memutar cangkirnya dengan ujung jari.

"Aku Ayu," katanya tiba-tiba, memperkenalkan diri tanpa menunggu giliran. "Dan kamu?"

"Arga," jawabku singkat. Namaku terasa hambar di lidahku sendiri.

Ayu mengangguk seolah sedang menyimpan namaku di memori kecil di kepalanya. "Senang bertemu denganmu, Arga. Aku bukan psikolog atau semacamnya, tapi kalau kamu butuh orang yang mendengarkan, aku bisa jadi pendengar yang lumayan."

Aku menatapnya dengan sedikit ragu. Dia orang asing, dan menawarkan telinga untuk mendengar cerita seorang pria patah hati di kafe kecil seperti ini. Rasanya seperti plot film indie yang terlalu diatur. Tapi, anehnya, aku merasa bahwa tawarannya itu tulus.

"Kamu pernah patah hati?" tanyaku, mencoba mengalihkan fokus dari diriku.

Ayu tertawa kecil, suara tawanya seperti bel kecil yang berbunyi di tengah malam yang sunyi. "Tentu saja. Rasanya siapa pun yang hidup cukup lama pasti pernah merasakannya. Aku juga pernah ditinggalkan. Beberapa kali malah. Tapi... ya, begitulah hidup. Kadang kita harus kehilangan sesuatu untuk tahu bagaimana cara melanjutkan."

Ada jeda di antara kata-katanya, ruang kecil yang penuh makna. Aku ingin menanyakan lebih banyak, tapi kurasa itu bukan tempatku. Jadi aku hanya diam, menunggu kata-katanya mengendap di udara sebelum hilang bersama alunan musik jazz di latar belakang.

"Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu merasa begitu hancur?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, hampir seperti bisikan.

Aku menarik napas panjang. Mungkin karena aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara selama beberapa hari terakhir, atau mungkin karena tatapan Ayu yang terasa seperti selimut hangat di tengah dinginnya hari, aku mulai bercerita. Tentang Dina, perempuan yang kucintai selama tiga tahun terakhir. Tentang mimpi-mimpi yang sempat kami bangun bersama, rencana-rencana kecil yang kini hanya menjadi puing-puing di benakku. Dan tentang bagaimana dia, dengan suara yang tenang tapi tegas, mengatakan bahwa dia ingin sendiri.

Ayu mendengarkan tanpa menyela. Tangannya bertumpu di atas meja, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah kata-kataku adalah sesuatu yang sangat penting. Ketika aku selesai, aku merasa seperti baru saja membuang beban besar yang menekan dadaku. Tapi rasa hampa itu tetap ada, bersembunyi di sela-sela nafasku.

"Aku tahu rasanya," katanya setelah hening beberapa saat. "Rasanya seperti semua hal yang dulu masuk akal tiba-tiba kehilangan artinya. Tapi, Arga, kamu harus ingat satu hal. Kadang, kehilangan adalah cara hidup untuk memberi ruang bagi sesuatu yang baru."

Aku mendengarkan, tapi kata-katanya tidak langsung menembus benteng tebal yang kubangun di sekeliling perasaanku. Aku hanya mengangguk lagi, karena aku tidak tahu harus berkata apa.

Kami duduk di sana cukup lama, berbicara tentang banyak hal. Tentang film yang terakhir dia tonton, buku yang sedang dia baca, dan lagu-lagu lama yang mengingatkannya pada masa kecil. Dia tidak mencoba menghiburku dengan cara yang berlebihan, tapi kehadirannya cukup untuk membuatku merasa bahwa dunia ini tidak sepenuhnya gelap.

Ketika malam semakin larut, Ayu melihat jam di pergelangan tangannya. "Aku harus pergi. Tapi sebelum itu, aku ingin memberikan sesuatu."

Dia mengeluarkan sebuah kartu kecil dari tasnya dan menuliskan sesuatu di atasnya dengan pena. Lalu dia menyerahkannya padaku.

"Ini bukan nomor telepon," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi kalau kamu ingin bicara lagi, datanglah ke tempat ini. Aku biasa nongkrong di sana."

Aku melihat tulisan di kartu itu. Nama sebuah toko buku kecil di pinggiran kota, tempat yang bahkan belum pernah kudengar sebelumnya.

"Terima kasih," kataku, untuk pertama kalinya sejak lama merasa bahwa kata-kata itu memiliki makna. Ayu tersenyum, mengambil tasnya, lalu berjalan menuju pintu keluar.

Ketika dia menghilang di balik pintu kafe, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Mungkin ini bukan akhir dari patah hati, tapi setidaknya ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Aku tidak tahu apakah aku akan pergi ke toko buku itu, tapi kartu kecil itu terasa seperti jembatan yang menghubungkan dunia gelapku dengan kemungkinan kecil akan cahaya.

Aku menatap gelas kopi di depanku, kini hanya berisi ampas hitam yang mengering di dasar. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku tersenyum kecil. Mungkin hidup ini memang penuh dengan hal-hal yang tak terduga, dan kadang, obat untuk patah hati muncul dari orang asing yang datang tanpa diundang.

Dan di malam yang mendung itu, aku merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, segalanya akan baik-baik saja.

Post a Comment

Previous Post Next Post